MENGHINDARI SYUBHAT
Saat hendak pulang dari Perang Muraisi, Aisyah tertinggal dari rombongan Rasulullah SAW. Perang itu terjadi pada bulan Sya'ban tahun ke-5 Hijriyah. Dikutip dari buku berjudul Kearifan Al-Qur'an oleh Muhammad Chirzin, saat itu Aisyah tertinggal karena kembali mencari kalungnya yang terputus.
Sementara itu, rombongan yang lain telah siap berangkat kembali. Mereka pun membawa sekedup Aisyah dan memberangkatkanya di atas untanya. Mereka menganggap Aisyah ada di dalamnya.
Setelah menemukan kalungnya, Aisyah kembali ke tempat tadi saat rombongan berhenti. Aisyah berpikir mereka akan kembali mencarinya. Namun, saat Aisyah duduk dan tertidur, Shafwan yang tertinggal di belakang rombongan melihat sosok seseorang dan menghampirinya.
Saat mengenali itu Aisyah, Shafwan pun mengucap bacaan istirja (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Tanpa sepatah kata, Shafwan pun menginjak kaki depan unta dan menjauh beberapa saat agar ia tidak melihat cara Aisyah menaiki unta. Selama perjalanan, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut keduanya.
Namun, saat memasuki Madinah, kaum mukminin sendiri yang mengatakan bahwa Aisyah dan Shafwan pulang berdua. Namun, berita kemudian tersebar adalah Aisyah dan Shafwan berselingkuh. Hampir tidak ada seorang pun sahabat yang tidak percaya pada berita bohong tersebut. Bahkan, Rasulullah pun hampir percaya karena yang menyebarkan berita adalah kaum mukmin sendiri, sementara saat itu Aisyah dan Shafwan hanya diam.
Fitnah itu dibuat oleh Abdullah bin Ubayy bin Salul. Sesampai di Madinah, Aisyah sakit selama satu bulan dan tidak mengetahui soal fitnah yang disebar tentangnya. Namun, ia baru mengetahui saat secara tidak sengaja Ummu Misthah menceritakan kepadanya tatkala membimbingnya pergi buang air.
Aisyah kecewa mendengar pertanyaan Nabi SAW, yang meragukan kesetiaannya. Ia tidak berkomentar apa-apa dan hanya mengatakan bahwa ia akan menceritakan kesedihan serta kekecewaannya pada Allah.
Di lain tempat, Abu Salamah berbicara dengan istrinya, Ummu Salamah, soal berita Aisyah. Namun, Salamah menjawab, "Wahai Abu Salama bagaimana jika ada berita saya berselingkuh dan atau jika engkau berselingkuh? Jika saya tidak mungkin, apalagi Aisyah."
Menjawab kesedihan Aisyah, Allah pun berfirman dalam surat an-Nuur. Allah menyatakan bahwa berita itu bohong. Allah juga meminta kaum mukminin untuk memperbaiki diri dan hati-hati terhadap ucapan mereka.
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar." (QS. an-Nuur:11)
Ketika tabir rahasia itu tersingkap, Nabi SAW tertawa gembira. Kalimat pertama yang diucapkan beliau kepada Aisyah adalah, "Wahai Aisyah, pujilah Allah karena Dia telah membebaskanmu dari tuduhan itu." Allah menurunkan wahyu tentang berita bohong atas Aisyah itu dalam Alquran surat an-Nuur ayat 11-19.
Jangan mudah mengambil kesimpulan tentang apapun kalau kita belum paham betul persoalannya.
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim)
KOMENTAR